Search This Blog

Tuesday, June 28, 2011

Biografi Singkat George Habash



By: Helmi Djunaidi


The texts are there. I invented nothing. The Jewish State of Israel is considered legally racist by the United Nations.  (Alain Ménargues, vice-director of Radio France International)
George Habash  lahir di tanggal 2 Agustus 1926 di Lydda, Palestina. Ia berasal dari keluarga Kristen yang cukup berada. Mereka tinggal di tengah-tengah lingkungan umat Islam Palestina yang sangat toleran dan inklusif, di mana semua umat yang berbeda agama dan keyakinan bisa hidup dengan penuh kedamaian selama berabad-abad lamanya. Suasana yang penuh perdamaian dan toleransi ini berubah total setelah meletusnya perang Arab-Israel tahun 1948. Habash sekeluarga diusir oleh tentara Zionis yang picik dan rasis, yang tak menghendaki bangsa selain Yahudi, baik yang beragama Islam maupun Kristen hidup di Palestina. Dan bukan hanya keluarganya, hampir semua orang Kristen Palestina juga diusir oleh kaum Zionis Yahudi dari tanah airnya. Sikap picik kaum Yahudi ini, yang selalu menonjolkan sikap anti inklusif dan anti pluralisme dan mau benarnya sendiri, akhirnya membangkitkan perlawanan dari Habash.
Setelah melihat penderitaan bangsanya, baik yang Islam maupun Kristen, akhirnya Habash  membentuk organisasi bersenjata yang bertujuan untuk menumpas kaum rasis Zionis dan berjuang membebaskan tanah Palestina, mengembalikan Palestina sebagai tanah yang penuh kedamaian dan toleransi seperti saat dihuni kakek buyutnya dulu.
Habash  adalah seorang dokter. Semasa masih kuliah di Beirut ia bertemu Wadi Haddad yang juga penganut Kristen. Mereka kemudian mendirikan ANM (Arab Nationalist Movement) pada tahun 1951. Setelah berakhirnya perang tahun 1967, banyak orang Arab yang merasa kecewa dengan kepemimpinan Nasser. Habash  juga merasakan perlu adanya reformasi. Ia kemudian membubarkan ANM dan membentuk PFLP (Popular Front for the Liberation of Palestine). Pada masa kejayaannya, PFLP merupakan faksi terbesar kedua di PLO setelah Al-Fatah yang dipimpin oleh Arafat.
Ia termasuk tokoh yang sangat keras menentang kaum rasis Zionis dan segala upaya perdamaian dengan mereka. Sepanjang hidupnya ia mengambil sikap oposan terhadap Yasser Arafat yang dianggapnya lebih lunak. Karena sikap kerasnya terhadap kaum Zionis, bahkan rekan-rekannya anggota PLO yang muslim sering mengkritik Habash. Bersama dengan rekan setianya Wadi Haddad, ia mempelopori perjuangan bersenjata melawan kaum rasis Zionis dan sponsornya, terutama negara rasis Amerika, yang pada saat itu juga giat menindas orang kulit hitam di negaranya, yang sampai-sampai menewaskan Martin Luther King Jr. pejuang hak asasi kulit hitam.
Hingga tahun 1960-an, keadaan di Amerika Serikat memang tak jauh berbeda dengan di Afrika Selatan, terlebih lagi di negara-negara bagian di Selatan. Picik dan rasis. Tak ada itu kata inklusif dan pluralisme di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di sana. Kenyataannya adalah orang hitam dilarang bersekolah di sekolah kulit putih, naik bis umum dipisah bangkunya, makan di restoran, di kantin universitas dipisah ruangnya, ruang tunggu di bandara dipisah. Bahkan beribadah kepada Tuhan pun wajib di gereja yang terpisah. (Suatu hal yang mustahil terjadi di dunia Islam). Negara rasis dalam artinya yang paling tulen, persis seperti di Afrika Selatan zaman Pieter Botha. Bacalah misalnya biografi Martin Luther King Jr. dan Malcolm X. Hingga saat ini pun, tahun 2000-an ini, ratusan gereja orang kulit hitam dibakar di Amerika setiap tahunnya. Rasis dan intoleran bahkan terhadap orang sesama agamanya sendiri. Dan investigasi untuk menangkap pelakunya selalu macet diblokir di tengah jalan karena banyak di antara aparat hukum dan pemerintahan yang bersimpati. Bahkan organisasi semacam The Institute on Religion and Democracy, a conservative watchdog group based in Washington, DC. secara terbuka mendukung pembakaran-pembakaran tersebut. Karena memang sealiran, maka dengan nyaman saja Amerika bisa dengan total mendukung negara rasis Israel. Selain juga mendukung berbagai pemerintahan rasis di Amerika Latin, yang gemar membantai suku-suku Indian. Suatu hal yang juga dilakukan orang kulit putih di Amerika Serikat hingga abad ke-19, dan rasisme terhadap mereka, orang Indian, juga tetap berlangsung hingga abad ke-20.
Dari PFLP tadi terlahir juga organisasi sempalan DFLP yang beraliran lebih militan lagi, yang dipimpin Nayef Hawatmeh. Sebagaimana Habash, Hawatmeh ini seorang pejuang Palestina yang beragama Kristen juga. Meski demikian, PFLP yang dipimpin Habash  tadi lebih populer karena perjuangannya yang sangat gigih melawan kaum Yahudi. Selama masa kepemimpinan Habash sebagai Sekjen PFLP, faksi ini dikenal sebagai salah satu organisasi bersenjata Palestina yang paling berbahaya karena sikap mereka yang sangat militan menentang kaum Zionis dan segala kebijaksanaan rasis mereka. PFLP melakukan banyak serangan bersenjata ke berbagai belahan dunia, dengan sasaran utama kaum rasis Yahudi beserta para sponsornya. Dalam perjuangannya mereka juga sering menjalin kerjasama dengan para pejuang dari Amerika Latin, seperti dengan Sandinista misalnya.
Semenjak tahun 1980-an, kesehatan Habash  mulai memburuk, dan pengaruhnya di PLFP mulai berkurang. Pada tahun 1990-an PFLP juga mulai kalah pengaruh dengan organisasi seperti Hamas dan Jihad Islam yang juga tak kalah militannya. Pada tahun 2000 posisi Habash sebagai Sekjen akhirnya digantikan oleh Abu Ali Mustafa. Walau pengaruhnya saat ini sudah semakin menyurut, nama Habash tetap populer di banyak kalangan rakyat Palestina yang menghargai ideologi revolusionernya, prinsipnya yang kuat, serta gaya hidupnya yang mencerminkan sikap kaum intelektual. Pada pemilu Palestina tahun 2000 PFLP masih sempat merebut angka 4,2 persen. Pemerintah Iran juga merupakan pendukung PFLP, organisasi yang didirikan dan dipimpin oleh orang Kristen Palestina tersebut.
Meski demikian, bagi musuh bebuyutannya, yakni Israel dan Amerika, tentu saja Habash sangat tidak populer. Bagi kedua negara tersebut Habash adalah “one of the most lethal terrorists of the 20th century”. Hal yang saat ini ditujukan ke berbagai organisasi Islam lainnya. Dan tahukah Anda apa salah satu tujuan utama organisasi-organisasi Islam itu melakukan berbagai serangan ke posisi Amerika dan Israel? Sama dengan Habash, yakni membebaskan tanah Palestina dari kaum  rasis Yahudi beserta sponsornya. Mengembalikan Palestina ke masa yang penuh toleransi dan perdamaian seperti sebelum berdirinya negara Zionis Israel, di mana umat Islam dan Kristen dan juga semua agama yang ada di Palestina lainnya bisa hidup berdampingan dengan damai satu sama lain selama berabad lamanya. Dan kita tahu bahwa berdirinya negara Yahudi itu telah merusak suasana perdamaian dan penuh toleransi tersebut. Kekacauan di Timur Tengah pun tetap terjadi hingga sekarang.
Habash beserta anak buahnya pun sangat mendukung perjuangan umat Islam tersebut. Demikian pula Edward Said. Demikian pula semua orang Kristen di Palestina, termasuk Hanan Asrawi, juga Suha Tawil, istri Arafat, yang juga beragama Kristen. Istri Arafat memang beragama Kristen, suatu hal yang tentunya sangat mustahil terjadi di Israel sampai kiamat. Apakah mungkin seorang PM Israel mempunyai istri orang Palestina yang beragama Kristen? Mustahil ia akan bakal dipilih oleh rakyat Israel yang rata-rata picik dan rasis itu. Apalagi bila istrinya beragama Islam.
Semakin menyurutnya dukungan kepada PFLP pada saat ini mungkin antara lain karena jumlah orang Kristen di Palestina menyusut drastis semenjak masa pendudukan Israel. Mereka yang kebetulan studi di luar negeri dilarang pulang kembali dan dicabut kewarganegaraannya. Banyak pula yang mengalami tekanan dan intimidasi sehingga mereka lalu mengungsi. Pada tahun 1930-an, penduduk Palestina sekitar 20% adalah umat Kristen, sekarang tinggal 1,6%. Sedangkan penduduk Yerusalem dulu malah mayoritas adalah orang Kristen, di atas 51%, sekarang mereka tinggal 2%. Jadi, sebelum berdirinya negara Israel, secara de facto Yerusalem sebenarnya sudah dikuasai orang Kristen, yakni Arab-Kristen. Apalagi, dalam bidang pendidikan, sosial dan ekonomi umat Kristen Palestina lebih makmur dibandingkan dengan umat Islamnya. Oleh karena itu, orang Yahudi biasanya lebih suka merampas tanah dan menyita rumah-rumah milik umat Kristen Palestina karena tentu saja lebih bagus dan besar. Juga merampas tanah-tanah milik gereja untuk dijadikan pemukiman Yahudi. Tentang masalah ini lihat antara lain Jonathan Cook, Israel’s Purging of Palestinian Christian dan Donald Wagner Palestinian Christian: A Historic Community at Risk? Tulisan Donald Wagner itu dibuka dengan sebuah kisah tragis yang menimpa Johnny Thaljiya, seorang remaja Palestina yang baru berusia 17 tahun, sesaat setelah ia pulang menghadiri misa di gereja.Kedua artikel di atas sudah saya taruh dibawah setelah tulisan ini untuk sementara. Nanti saya hapus lagi karena ini karya orang lain.
Karena kebodohan mayoritas orang Kristen di Amerika dan Eropa—termasuk juga orang Kristen di Indonesia--yang tak paham apa-apa tentang Timur Tengah, maka mereka malah mendukung negara Israel yang rasis, mendukung pembantaian saudara seagamanya sendiri. Akibatnya, umat Kristen Palestina sekarang sudah hampir punah, setiap tahun semakin berkurang jumlahnya. Walau umatnya sudah berkurang drastis, semua pemimpin gereja di Palestina dari beragam aliran tetap solid mendukung perjuangan PLO, Hamas, PFLP dan organisasi-organisasi Palestina lainnya. Bahkan, para pendeta itu dengan terang-terangan mendoakan para pejuang Hamas agar bisa masuk surga, walau jelas-jelas mereka itu beragama Islam. Suatu hal yang tentunya membuat sengit pemerintah Israel dan kaum fundamentalis Amerika, termasuk juga kalangan persnya, kepada para pemimpin gereja tersebut. Lalu memfitnah mereka dengan beragam dakwaan, antara lain menjuluki Patriarch Yerusalem, Michel Sabbah, sebagai “Islamic Patriarch”.
Oh ya, tentu saja jangan pernah berharap berita tentang dukungan Patriarch Yerusalem kepada para pejuang Palestina itu akan diulas oleh FOX atau CNN. Yang akan diulas besar-besaran oleh mereka tentu saja adalah “intimidasi dan teror” orang Islam kepada umat Kristen Palestina.  Hanya orang dungu yang akan percaya dengan berita-berita propaganda semacam itu. Buat apa Arafat meneror Suha Tawil istrinya sendiri beserta keluarga besarnya? Mereka keluarga yang harmonis. Sialnya, ratusan juta orang dungu di Eropa dan Amerika pada umumnya dengan patuh akan mengangguk-angguk takzim menelan mentah-mentah propaganda tersebut.
George Habash meninggal di Amman, Yordania, tanggal 26 Januari 2008 pada usia 81 tahun. Upacara pemakamannya diadakan di sebuah gereja di kota Amman. Ia meninggal dengan tenang di antara umat Islam yang selama ini dengan setia berjuang bersamanya. Pada saat meninggalnya, Presiden Palestina Mahmud Abbas, yang tentu saja seorang muslim, mengumumkan masa berkabung selama 3 hari untuk menghormatinya. Pemimpin Hamas di Gaza, Ismail Haniya, juga turut berkabung dan mengatakan bahwa Habash sepanjang hidupnya telah berjuang demi membela tanah Palestina. Ini tentunya membuktikan kebesaran hati dan sikap inklusif dari Hamas, organisasi yang oleh propaganda Amerika dan Yahudi selalu dikatakan sebaliknya. Rakyat di kota-kota di Tepi Barat juga turun ke jalan untuk turut mengenang perjuangannya. Sebaliknya, pemerintah Israel yang rasis itu malah melarang rakyat Palestina untuk mengadakan upacara berkabung.
Demikianlah sekilas riwayat hidup George Habash beserta perjuangannya menentang kaum rasis Zionis. Jadi, ternyata prinsip jihad ini bukan hanya terdapat di kalangan umat Islam Palestina, tetapi juga umat Kristen di sana, berjuang bahu-membahu melawan kaum Zionis beserta para sponsornya. Dan satu hal lagi, saya yakin Ahmadiyah tidak akan pernah laku di Palestina. Baik di kalangan umat Islam maupun Kristennya.
Yogyakarta, 25 Juli 2008



+++++++++++++++++++++++++++++++++

Palestinian Christians: An Historic Community at Risk?

by Don Wagner
Overview:
On a moonlit December evening in BethlehemÕs Manger Square, seventeen-year-old Johnny Thaljiya was outside his cousin’s souvenir shop. He had just finished the evening mass at the historic Greek Orthodox Church of the Nativity where he served as an altar boy. Suddenly, Johnny let out a scream and grabbed his throat as he fell to his knees and collapsed. Family and friends rushed to his side and realized that Johnny had been shot through the throat by an Israeli sniper, not an unusual fate for young Palestinian men these days. Rushed to the hospital, it was too late to save him. Johnny died within an hour as the number of Palestinian deaths crept toward 800 over the previous 16 months of the al-Aqsa intifada.
Sadly, the international community has done nothing to protect Palestinian youths and other civilians from a fate like that of Johnny Thaljiya. A U.S. veto at the United Nations (UN) has blocked impartial international observers who would function as buffers between the Israeli army and the Palestinians. Today every Palestinian is at risk under this occupying army and increasingly every Israeli is at risk as the violence continues to escalate in the occupied Palestinian areas and inside Israel.
Often overlooked in this descent into war in the Holy Land is a community whose presence may not survive the next 25-30 years in Israel and Palestine: the dwindling Palestinian Christian community. Many Palestinian scholars believe that Palestinian Christians could disappear in the Holy Land within a generation if the present war and emigration patterns among Christians continue. It is ironic that as Palestinian Christianity celebrates its anniversary of 2,000 years in Palestine and Israel, the community is on the verge of extinction. Perhaps more troublesome is the fact that little is being done by the West or the international Christian churches. Most striking is the fact that the Middle East policies of the nation with the largest and most powerful Christian majority is underwriting the destruction of Palestinian Christianity through its uncritical support of Israel’s war machine.
The British Mandate and al Nakba:
The British census of 1922 placed the Christian Palestinian population in Jerusalem at just over 51 percent, the majority being of the well-educated mercantile class. Gradually, Zionist settlement increased the proportion of Jews in Palestine, but the Jewish presence in Jerusalem remained relatively small. However, the hostilities that followed the UN partition vote of 28 November 1947 had a devastating effect on the Palestinian population with between 725-775,000 refugees being expelled from their ancestral lands.
Historian Sami Hadawi estimated that over 50 percent of Jerusalem’s Christians were expelled from their West Jerusalem homes, the largest single numerical decline of Christians in Palestine in history. Hadawi’s study concluded that in Jerusalem a higher proportion of Palestinian Christians became refugees after 1949, a ratio of 37 percent of Christians to 17 percent of the Muslims. The higher ratio of Christians was due in part to the fact that the majority lived in the wealthier western Jerusalem districts seized by Israel during 1948-49. Further, approximately 34 percent of the lands seized by Israel were owned by Palestinian Christian churches, and they were simply taken by force with no compensation given to the previous owners.
Bethlehem University Sociologist Bernard Sabella reports that by 1966 Palestinian Christians had declined to 13 percent of the total Palestinian population in Gaza, East Jerusalem, and the West Bank, a significant decline from the 18-20 percent that had held until 1947. However, following the 1967 war and continuing until the signing of the Oslo Accords on 13 September 1993, the population decline was more dramatic. Sabella places the ratio of Palestinian Christians to Muslims at 2.1 percent in 1993. This decline was a direct reaction to the severity of the Israeli occupation and the lack of an economic, educational, vocational, and secure life in East Jerusalem, Gaza, and the West Bank.
Had the 18 percent of the 1922-47 period remained, the Palestinian Christians would have numbered close to 300,000 by the early 1990s. Inside Israel, the Palestinian Christians grew to approximately 160,000 by 1993, compared to a Muslim population of 650,000. However, by the turn of the century and the second intifada, the emigration patterns continued to the extent that Christians now number only an estimated 1.6 percent of the Palestinian population in the West Bank, Jerusalem, and the Gaza Strip.
If these rates continue over the next generation, Palestinian and western scholars observe that the indigenous Palestinian Christian population will be on the verge of extinction within a generation. Some call this the “museumification” of the indigenous Christians of Palestine and Israel, indicating that there will only be a small number of elderly Christians left to show churches to western tourists, but the churches will be empty, having no local community to worship and inhabit them.
Many Palestinian Christians are now stating, perhaps as an appeal to the conscience of the West, addressed especially to the people and the government of the United States, that Palestinian Christianity may die within a generation if a just peace is not implemented in Israel-Palestine soon. The fundamental crisis for Palestinian Christians is the same as that for all Palestinians—the occupation and the brutality of Israel’s measures against the entire Palestinian community. Until the United States implements policies with full accountability which will bring Israel into compliance with UN resolutions 242 and 338, all Palestinians and Israelis will continue to suffer insecurity, economic deprivation, and death from the inhumane status quo of occupation.
What Palestinian Christians Want:
Perhaps the most succinct and accurate articulation of the Palestinian Christian position is found in the Jerusalem Sabeel Document of 2000, produced by the Sabeel Ecumenical Liberation Theology Center in Jerusalem. Led by the Rev. Dr. Naim Ateek, former Canon of St. Georges’ Anglican Cathedral in Jerusalem and Director of the Sabeel Center, this document summarizes what the overwhelming majority of Palestinian Christians accept as the basis for a just peace in the conflict. The document begins with a biblical and theological rationale for their position and then turns to the moral basis for their “Peace Principles.”
Once a moral framework has been articulated, the document outlines the legal and political framework for a just peace. Citing UN resolutions, the Universal Declaration of Human Rights, and the Fourth Geneva Convention, this framework essentially reiterates the international consensus held by every nation with the sole exceptions of Israel and the United States.
These moral, legal, and political principles state the unambiguous basis for a just and lasting peace between Israel and the Palestinians. Since 1948, it is estimated that approximately 50 peace proposals have been brought forth and all have failed. In some cases the United States, (often under pressure from Israel) has opposed the principles outlined in the Sabeel Document, despite the fact that the United States has been a signatory to these very principles.
Fortunately, most Protestant, Roman Catholic, and Eastern Orthodox church bodies in Europe, Canada, and the United States have now adopted official policy statements that are in complete accord with the Sabeel Principles.
The task now is to translate these national policies into active moral, spiritual, and even political advocacy by the clergy and laypersons. The mainline Protestant and Roman Catholic churches can make a significant difference in the near future if there is a concerted effort at education and organization, and there are some indications that the pendulum is swinging in that direction. The struggle for Palestinian rights remains a distant hope, but the official policies are now in place and the infrastructure for significant action is coming into view.
Don Wagner associate professor of Religion and Middle Eastern Studies, and executive director of the Center for Middle Eastern Studies at North Park University. The above text may be used without permission but with proper attribution to the author and to the Palestine Center. This Information Brief does not necessarily reflect the views of Palestine Center or The Jerusalem Fund.
This information first appeared in Information Brief No. 89, 12 March 2002.


+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Israel's Purging of Palestinian Christians
by Jonathan Cook

There is an absurd scene in Palestinian writer Suad Amiry's recent book Sharon and My Mother-in-Law that is revealing about Israeli Jews' attitude to the two other monotheistic religions. In 1992, long before Israel turned Amiry's home city of Ramallah into a permanent ghetto behind checkpoints and walls, it was still possible for West Bank Palestinians to drive to Jerusalem and even into Israel – at least if they had the right permit.
On one occasion Amiry ventures out in her car to East Jerusalem, the half of the city that was Palestinian before the 1967 war and has since been engulfed by relentless illegal and state-organized Jewish settlement.
There she sees an elderly Jew collapsing out his car and on to the side of the road. She pulls over, realizes he is having a heart attack and bundles him into the back of her own car. Not able to speak Hebrew, she reassures him in English that she is taking him to the nearest hospital.
But as it starts to dawn on him that she is Palestinian, Amiry realizes the terrible problem her charitable act has created: his fear may prompt him to have another heart attack. "What if he had a fatal heart attack in the back seat of my car? Would the Israeli police ever believe I was just trying to help?" she wonders.
The Jewish man seeks to calm himself by asking Amiry if she is from Bethlehem, a Palestinian city known for being Christian. Unable to lie, she tells him she is from Ramallah. "You're Christian?" he asks more directly. "Muslim," she admits, to his utter horror. Only when they finally make it to the hospital does he relax enough to mumble in thanks: "There are good Palestinians after all."
I was reminded of that story as I made the journey to Bethlehem on Christmas Day. The small city that Amiry's Jewish heart attack victim so hoped she would hail from is today as much of an isolated enclave in the West Bank as other Palestinian cities – or at least it is for its Palestinian inhabitants.
For tourists and pilgrims, getting in or out of Bethlehem has been made reasonably straightforward, presumably to conceal from international visitors the realities of Palestinian life. I was even offered a festive chocolate Santa Claus by the Israeli soldiers who control access to the city where Jesus was supposedly born.
Seemingly oblivious to the distressing historical parallels, however, Israel forces foreigners to pass through a "border crossing" – a gap in the menacing grey concrete wall – that recalls the stark black and white images of the entrance to Auschwitz.
The gates of Auschwitz offered a duplicitous motto, "Arbeit macht frei" (Work makes you free), and so does Israel's gateway to Bethlehem. "Peace be with you" is written in English, Hebrew and Arabic on a colorful large notice covering part of the grey concrete. The people of Bethlehem have scrawled their own, more realistic assessments of the wall across much of its length.
Foreign visitors can leave, while Bethlehem's Palestinians are now sealed into their ghetto. As long as these Palestinian cities are not turned into death camps, the West appears ready to turn a blind eye. Mere concentration camps, it seems, are acceptable.
The West briefly indulged in a bout of soul-searching about the wall following the publication in July 2004 of the International Court of Justice's advisory opinion condemning its construction. Today the only mild rebukes come from Christian leaders around Christmas time. Britain's Archbishop of Canterbury, Dr Rowan Williams, was foremost among them this year.
Even those concerns, however, relate mainly to fears that the Holy Land's native Christians, once a significant proportion of the Palestinian population, are rapidly dwindling. There are no precise figures, but the Israeli media suggests that Christians, who once constituted as much as 15 per cent of the occupied territories' Palestinians, are now just 2 or 3 per cent. Most are to be found in the West Bank close to Jerusalem, in Bethlehem, Ramallah and neighboring villages.
A similar pattern can be discerned inside Israel too, where Christians have come to comprise an ever-smaller proportion of Palestinians with Israeli citizenship. In 1948 they were nearly a quarter of that minority (itself 20 per cent of the total Israeli population), and today they are a mere 10 percent. Most are located in Nazareth and nearby villages in the Galilee.
Certainly, the continuing fall in the number of Christians in the Holy Land concerns Israel's leadership almost as keenly as the patriarchs and bishops who visit Bethlehem at Christmas – but for quite the opposite reason. Israel is happy to see Christians leave, at least of the indigenous Palestinian variety.
(More welcome are the crazed fundamentalist Christian Zionists from the United States who have been arriving to help engineer the departure of Palestinians, Muslims and Christians alike, in the belief that, once the Jews have dominion over the whole of the Holy Land, Armageddon and the "End Times" will draw closer.)
Of course, that is not Israel's official story. Its leaders have been quick to blame the exodus of Christians on the wider Palestinian society from which they are drawn, arguing that a growing Islamic extremism, and the election of Hamas to lead the Palestinian Authority, have put Christians under physical threat. This explanation neatly avoids mentioning that the proportion of Christians has been falling for decades.
According to Israel's argument, the decision by many Christians to leave the land where generations of their ancestors have been rooted is simply a reflection of the "clash of civilizations," in which a fanatical Islam is facing down the Judeo-Christian West. Palestinian Christians, like Jews, have found themselves caught on the wrong side of the Middle East's confrontation lines.
Here is how the Jerusalem Post, for example, characterized the fate of the Holy Land's non-Muslims in a Christmas editorial: "Muslim intolerance toward Christians and Jews is cut from exactly the same cloth. It is the same jihad." The Post concluded by arguing that only by confronting the jihadis would "the plight of persecuted Christians – and of the persecuted Jewish state – be ameliorated."
Similar sentiments were recently aired in an article by Aaron Klein of WorldNetDaily republished on Ynet, Israel's most popular website, that preposterously characterized a procession of families through Nazareth on Eid al-Adha, the most important Muslim festival, as a show of strength by militant Islam designed to intimidate local Christians.
Islam's green flags were "brandished," according to Klein, whose reporting transformed a local troupe of Scouts and their marching band into "Young Muslim men in battle gear" "beating drums." Nazareth's youngsters, meanwhile, were apparently the next generation of Qassam rocket engineers: "Muslim children launched firecrackers into the sky, occasionally misfiring, with the small explosives landing dangerously close to the crowds."
Such sensationalist misrepresentations of Palestinian life are now a staple of the local and American media. Support for Hamas, for example, is presented as proof of jihadism run amok in Palestinian society rather than as evidence of despair at Fatah's corruption and collaboration with Israel and ordinary Palestinians' determination to find leaders prepared to counter Israel's terminal cynicism with proper resistance.
The clash of civilizations thesis is usually ascribed to a clutch of American intellectuals, most notably Samuel Huntingdon, the title of whose book gave the idea popular currency, and the Orientalist academic Bernard Lewis. But alongside them have been the guiding lights of the neocon movement, a group of thinkers deeply embedded in the centers of American power who were recently described by Ynet as mainly comprising "Jews who share a love for Israel."
In fact, the idea of a clash of civilizations grew out of a worldview that was shaped by Israel's own interpretation of its experiences in the Middle East. An alliance between the neocons and Israeli leaders was cemented in the mid-1990s with the publication of a document called "A Clean Break: A New Strategy for Securing the Realm." It offered a US foreign policy tailor-made to suit Israel's interests, including plans for an invasion of Iraq, authored by leading neocons and approved by the Israeli prime minister of the day, Binyamin Netanyahu.
When the neocons rose to power with George Bush's election to the White House, the birth of the bastard offspring of the clash of civilizations – the war on terror – was all but inevitable.
Paradoxically, this vision of our future, set out by American and Israeli Jews, is steeped in fundamentalist Christian religious symbolism, from the promotion of a civilized West's crusade against the Muslim hordes to the implication that the final confrontation between these civilizations (a nuclear attack on Iran?) may be the End Times itself – and thereby lead to the return of the Messiah.
If this clash is to be realized, it must be convincing at its most necessary confrontation line: the Middle East and more specifically the Holy Land. The clash of civilizations must be embodied in Israel's experience as a civilized, democratic state fighting for its very survival against its barbarian Muslim neighbors.
There is only one problem in selling this image to the West: the minority of Christian Palestinians who have happily lived under Muslim rule in the Holy Land for centuries. Today, in a way quite infuriating to Israel, these Christians confuse the picture by continuing to take a leading role in defining Palestinian nationalism and resistance to Israel's occupation. They prefer to side with the Muslim "fanatics" than with Israel, the Middle East's only outpost of Judeo-Christian "civilization."
The presence of Palestinian Christians reminds us that the supposed "clash of civilizations" in the Holy Land is not really a war of religions but a clash of nationalisms, between the natives and European colonial settlers.
Inside Israel, for example, Christians have been the backbone of the Communist party, the only non-Zionist party Israel allowed for several decades. Many of the Palestinian artists and intellectuals who are most critical of Israel are Christians, including the late novelist Emile Habibi; the writer Anton Shammas and film-makers Elia Suleiman and Hany Abu Assad (all now living in exile); and the journalist Antoine Shalhat (who, for reasons unknown, has been placed under a loose house arrest, unable to leave Israel).
The most notorious Palestinian nationalist politician inside Israel is Azmi Bishara, yet another Christian, who has been put on trial and is regularly abused by his colleagues in the Knesset.
Similarly, Christians have been at the core of the wider secular Palestinian national movement, helping to define its struggle. They range from exiled professors such as the late Edward Said to human rights activists in the occupied territories such as Raja Shehadeh. The founders of the most militant wings of the national movement, the Democratic and Popular Fronts for the Liberation of Palestine, were Nayif Hawatmeh and George Habash, both Christians.
This intimate involvement of Palestinian Christians in the Palestinian national struggle is one of the reasons why Israel has been so keen to find ways to encourage their departure – and then blame it on intimidation by, and violence from, Muslims.
In truth, however, the fall in the number of Christians can be explained by two factors, neither of which is related to a clash of civilizations.
The first is a lower rate of growth among the Christian population. According to the latest figures from Israel's Bureau of Census Statistics, the average Christian household in Israel contains 3.5 people compared to 5.2 in a Muslim household. Looked at another way, in 2005 33 percent of Christians were under the age of 19, compared to 55 percent of Muslims. In other words, the proportion of Christians in the Holy Land has been eroded over time by higher Muslim birth rates.
But a second factor is equally, if not more, important. Israel has established an oppressive rule for Palestinians both inside Israel and in the occupied territories that has been designed to encourage the most privileged Palestinians, which has meant disproportionately Christians, to leave.
This policy has been implemented with stealth for decades, but has been greatly accelerated in recent years with the erection of the wall and numerous checkpoints. The purpose has been to encourage the Palestinian elite and middle class to seek a better life in the West, turning their back on the Holy Land.
Palestinian Christians have had the means to escape for two reasons. First, they have traditionally enjoyed a higher standard of living, as city-based shopkeepers and business owners, rather than poor subsistence farmers in the countryside. And second, their connection to the global Churches has made it simpler for them to find sanctuary abroad, often beginning as trips for their children to study overseas.
Israel has turned Christian parents' financial ability and their children's increased opportunities to its own advantage, by making access to higher education difficult for Palestinians both inside Israel and in the occupied territories.
Inside Israel, for example, Palestinian citizens still find it much harder to attend university than Jewish citizens, and even more so to win places on the most coveted courses, such as medicine and engineering.
Instead, for many decades Israel's Christians and Muslims became members of the Communist party in the hope of receiving scholarships to attend universities in Eastern Europe. Christians were also able to exploit their ties to the Churches to help them head off to the West. Many of these overseas graduates, of course, never returned, especially knowing that they would be faced with an Israeli economy much of which is closed to non-Jews.
Something similar occurred in the occupied territories, where Palestinian universities have struggled under the occupation to offer a proper standard of education, particularly faced with severe restrictions on the movement of staff and students. Still today, it is not possible to study for a PhD in either the West Bank or Gaza, and Israel has blocked Palestinian students from attending its own universities. The only recourse for most who can afford it has been to head abroad. Again, many have chosen never to return.
But in the case of the Palestinians of Gaza and the West Bank, Israel found it even easier to close the door behind them. It established rules, in violation of international law, that stripped these Palestinians of their right to residency in the occupied territories during their absence. When they tried to return to their towns and villages, many found that they were allowed to stay only on temporary visas, including tourist visas, that they had to renew with the Israeli authorities every few months.
Nearly a year ago, Israel quietly took a decision to begin kicking these Palestinians out by refusing to issue new visas. Many of them are academics and business people who have been trying to rebuild Palestinian society after decades of damage inflicted by the occupying regime. A recent report by the most respected Palestinian university, Bir Zeit, near Ramallah, revealed that one department had lost 70 per cent of its staff because of Israel's refusal to renew visas.
Although there are no figures available, it can probably be safely assumed that a disproportionate number of Palestinians losing their residency rights are Christian. Certainly the effect of further damaging the education system in the occupied territories will be to increase the exodus of Palestine's next generation of leaders, including its Christians.
In addition, the economic strangulation of the Palestinians by the wall, the restrictions on movement and the international economic blockade of the Palestinian Authority are damaging the lives of all Palestinians with increasing severity. Privileged Palestinians, and that doubtless includes many Christians, are being encouraged to seek a rapid exit from the territories.
From Israel's point of view, the loss of Palestinian Christians is all to the good. It will be happier still if all of them leave, and Bethlehem and Nazareth pass into the effective custodianship of the international Churches.
Without Palestinian Christians confusing the picture, it will be much easier for Israel to persuade the West that the Jewish state is facing a monolithic enemy, fanatical Islam, and that the Palestinian national struggle is really both a cover for jihad and a distraction from the clash of civilizations against which Israel is the ultimate bulwark. Israel's hands will be freed.
Israelis like Amiry's heart attack victim may believe that Palestinian Christians are not really a threat to their or their state's existence, but be sure that Israel has every reason to continue persecuting and excluding Palestinian Christians as much, if not more, than it does Palestinian Muslims.

http://www.freewebs.com/hi-web/biografisingkathabash.htm

Home » National News and Commentary, Top Stories » U.S. to Gaza: Letter to President Obama U.S. to Gaza: Letter to President Obama


Share
Source: USTOGAZA Website
On June 14, the passengers on The Audacity of Hope sent this letter to Pres. Obama. Copies went to UN Secretary General Ban Ki-moon and 12 members of the Administration and Congressional leadership. Call the White House – 202-456-1111 – and tell them you agree with the letter and expect the U.S. to take action to uphold the rights of peaceful citizens to safe passage on the seas.

Dear Mr. Obama:

We are writing to inform you that 50 unarmed Americans will soon be sailing in a U.S. flagged ship called The Audacity of Hope as part of an international flotilla to Gaza.

Our peaceful demonstration will challenge Israel’s blockade of Gaza, which has effectively imprisoned 1.6 million civilians, almost half of whom are under the age of 16. The blockade has impoverished the people of Gaza, deprived them of needed materials and supplies to rebuild their lives after the Israeli attack of late 2008 – early 2009, impeded those who are ill or infirm from seeking outside medical aid, and prevented students from seeking education outside of Gaza. 45% of the working age population is unemployed.

In addition to 36 passengers, 4 crew, and 10 members of the press, our boat will carry thousands of letters of support and friendship from people throughout the U.S. to the women, children and men of Gaza. There will be no weapons of any sort on board. We will carry no goods of any kind for delivery in Gaza. Our mission is from American civil society to the civil society of Gaza. We do not serve the agenda of any political leadership, government or group. We are engaged solely in non-violent action in support of the Palestinian people and their human rights.

In our country’s great tradition of citizen activists taking nonviolent action to stand up to injustice, we sail in the hope that our voyage will show the people in Gaza that they are not alone, and that it will call attention to the morally and legally indefensible collective punishment of a population of civilians.

Mr. President, you have noted the unsustainability of the Gaza blockade. And your administration has spoken boldly in support of peaceful demonstrations throughout this “Arab Spring.”

As U.S. citizens we expect our country and its leaders to help ensure the Flotilla’s safe passage to Gaza – as our country should support our humanitarian demand that the Gaza blockade be lifted. This should begin by notifying the Israeli government in clear and certain terms that it may not physically interfere with the upcoming Flotilla of which the U.S. boat—The Audacity of Hope — is part.

We—authors, builders, firefighters, lawyers, social workers, retirees, Holocaust survivors, former government employees and more—expect no less from our President and your administration.

Our boat will sail from the eastern Mediterranean in the last week of June. We shall be grateful to you for acting promptly and decisively to uphold the rights of civilians to safe passage on the seas.

Sincerely,

The passengers of The Audacity of Hope

Nic Abramson
Hagit Borer
Linda Durham
Ridgely Fuller
Libor Koznar
Richard Lopez
Carol Murry
Gabe Schivone
Len Tsou
Johnny Barber
Regina Carey
Debra Ellis
Megan Horan
Melissa Lane
Ken Mayers
Robert Naiman
Kathy Sheetz
Alice Walker
Medea Benjamin
Gale Courey Toensing
Hedy Epstein
Kathy Kelly
G. Kaleo Larson
Ray McGovern
Henry Norr
Max Suchan
Paki Wieland
Greta Berlin
Erin DeRamus
Steve Fake
Kit Kittredge
Richard Levy
Gail Miller
Ann Petter
Brad Taylor
Ann Wright

cc:

The Honorable Ban Ki-moon, U.N. Secretary General
The Honorable Hillary Clinton, Secretary of State
The Honorable Jeffrey Feltman, Assistant Secretary of State
The Honorable Susan E. Rice, Permanent U.S. Representative to the United Nations
The Honorable James B. Cunningham, U.S. Ambassador to Israel
The Honorable John F. Kerry, Chairman U.S. Senate Foreign Relations Committee
The Honorable Richard G. Lugar, Ranking Member U.S. Senate Foreign Relations Committee
The Honorable Robert P. Casey, Chairman Subcommittee on Near Eastern and South and Central Asian Affairs
The Honorable James E. Rish, Ranking Member Subcommittee on Near Eastern and South and Central Asian Affairs
The Honorable Ileana Ros-Lehtinen, Chairman U.S. House Committee on Foreign Affairs
The Honorable Howard L. Berman, Ranking Member U.S. House Committee on Foreign Affairs
The Honorable Steve Chabot, Chairman Subcommittee on Middle East and South Asia
The Honorable Gary L. Ackerman, Ranking Member Subcommittee on Middle East and South Asia

http://www.americanpendulum.com/2011/06/u-s-to-gaza-letter-to-president-obama/

Former Israeli combat pilot takes part in Freedom Flotilla 2

Tuesday, 28 June 2011 13:15
Former Israeli combat pilot takes part in Freedom Flotilla 2Reports in Israeli newspaper Yedioth Ahronoth claim that a former Israeli Air Force commander is taking part in Freedom Flotilla 2 heading for Gaza. The newspaper noted that former combat pilot Yonatan Shapira ended his service in the Israeli Air Force when he refused to bomb Palestinian residential and civilian areas following the 2002 raid against leading Hamas military figure Salah Shehada.
Mr Shapira will join the US-flagged ship The Audacity of Hope in the flotilla. Holocaust survivor Hedy Epstein is among 50 American and Jewish peace activists who will be on board the same vessel. Epstein, 86, has tried to reach the Gaza Strip several times before, but has been prevented on each occasion.
"We cannot know whether we will reach the Gaza Strip, but we have one goal: to help the innocents in Gaza even if Israel sinks all the ships and kills us all," said Shapira.

The Audacity of Hope was barred from leaving the port of Athens on the grounds that it lacks the necessary licences but this has been denied by the flotilla's organizers. Such a delaying tactic results from Israeli pressure, they said, and is intended to stop the ship from reaching the Gaza Strip.

One of the organizers of the American ship's participation in the flotilla, Dror Feiler, said that if The Audacity of Hope is prevented from taking part, there is in any case a large number of other ships now on their way to Gaza.

http://www.middleeastmonitor.org.uk/news/middle-east/2527-former-israeli-combat-pilot-takes-part-in-freedom-flotilla-2

Gaza students defy blockade to race home-made car at Silverstone

Filed under: Motorsport
Students from the Gaza Strip have made a race car almost entirely from recycled parts to compete in a competition at Silverstone.

Using old water pipes for the chassis and an engine salvaged from a motorbike, the engineering students from the UN-run Khan Younis Training College aim to take part in the Formula Student event from 14-17 July.

The entries - which this year total more than 125 cars - are judged on design, cost and business presentation as well as their ability in sprint, skid-pan, acceleration and endurance challenges. Formula 1's Ross Brawn is patron of the competition.

The Gaza Strip team has had to grapple with a five-year Israeli blockade on their territory which has forced them to build their car from recycled parts.

"
We are challenging all the pressures here, and the blockade," said Osama Al Othmani, 19, the KYTC team leader.



"We want to prove to the world that even if we are living on nothing, we can still create something from it. The last thing we will do is stick on the label which says 'Made in Gaza'."

Dr Colin Brown, director of engineering at the Institution of Mechanical Engineers, which runs the competition, added: "It really is inspirational to see a team working so hard with the odds stacked against them like this. Formula Student is a massive challenge in its own right, but to be working with almost entirely recycled parts in one of the most deprived areas in the world is remarkable.

"These students epitomise the spirit and inventiveness of those who take part in Formula Student."

Most of the other teams at the Formula Student event attract big name sponsors and can look forward to a career in Formula 1. However, the prospects for the KYTC team are bleak. Most live on less than £2 a day and will be lucky to become garage mechanics, earning a maximum of £200 a month.

But, despite this, the team has been working around the clock to ensure their car is ready.

"They have taken no rest we don't have that much time," said Dr Ghassan Abu Orf, the team's supervisor. "We have to stick to the deadline, and have to be in the UK on time for the competition."

The competing cars can go from 0-60mph in less than three seconds, with an engine of anything up to 610cc in size. The challenge rewards cars for their sustainability and fuel efficiency as much as performance, meaning electric or other alternative fuels can compete.

You can find out how the KYTC team get on by following the competition at Formula Student.

http://uk.autoblog.com/2011/06/26/gaza-students-defy-blockade-to-race-home-made-car-at-silverstone/

U.S. Boat rejects Israeli Army allegation of violence


28 June 2011 | US to Gaza

Contact: Athens: Donna Nevel, +30-694-266-3852;
New York: Leslie Cagan, 347-581-1782

U.S. Boat rejects Israeli Army allegation of violence; Passengers reiterate nonviolence pledge, openness to neutral inspection

Passengers on the U.S. boat to Gaza rejected as ludicrous and provocative an unsubstantiated accusation by the Israeli Army that passengers in the Gaza Freedom Flotilla plan to kill IDF soldiers with chemical weapons. The Jerusalem Post reported on Tuesday an Israeli Defense Forces allegation that some passengers on the flotilla had prepared sacks of sulfur which they planned to pour on Israeli soldiers.

"Passengers on the U.S. boat have long histories of responding to injustice nonviolently and peacefully. Every participant in the flotilla has signed a pledge of nonviolence," said Melissa Lane, a passenger on the U.S. boat. "We have been engaged in nonviolence training for the last several days. We have no weapons, and we have repeatedly offered to have our boats inspected by neutral authorities. We are absolutely not seeking any confrontation with the Israeli military. We just want to sail to Gaza."

"These spurious claims are merely an attempt to establish a justification to attack us," said Brad Taylor, another passenger on the U.S. boat. "Instead of fabricating horror stories about the hundreds of unarmed civilians in the flotilla, Israel should come clean about what it is they have in store for us.
It is safe to conclude that the only chemical weapons, including tear gas and smoke bombs, that will ever be brought on board our ships to Gaza are those that the Israeli military apparently intends to fire at us." "This is truly a shameful and desperate tactic on the part of the Israeli government. They know full well that the passengers have no intention of being anything but peaceful" said passenger Paki Wieland.

http://www.freegaza.org/en/home/56-news/1312-us-boat-rejects-israeli-army-allegation-of-violence

Boycott bill: A way to persecute the left

Under the guise of a bill against boycotts, the Knesset is muzzling the anti-settlement left

The Knesset’s Judicial Committee, led by MK David Rotem (Israel Beitenu) approved yesterday the “boycott bill” for its final reading. This likely means that the bill will imminently become a law.
The former version of the bill (Hebrew) defined a boycott for political reasons on Israeli products, or products made in the settlements (defined in the bill as “areas under Israeli control”), to be a felony, and allowed suing people advocating such a boycott and fining them 30,000 NIS (about 9,000 USD) without any need to prove that the litigant was actually damaged by the boycott. The bill was also retroactive: It allowed for the retroactive punishment of people advocating a boycott: It allowed for the suing of people who advocated a boycott in the past, up to a year before the passing of the bill.

The version approved yesterday is somewhat different, and can be seen here (careful: Hebrew PDF file). The new version – oppsed, by the way, by the Treasury and the Foreign Office – is different in three ways from the original. First, the retroactive nature of the bill was removed, probably because that would be the excuse the SCJ would use to strike it down. Second, the amount of the fine is no longer fixed and is left for the decision of the court, though the litigant still does not have to prove he suffered any damage.

And third and most importantly, the bill is now wider: Where earlier on it targeted individuals, now it also targets corporations and NGOs. Article 4 (1) of the bill, for instance, seems to be an attempt to deny tax exemption status to left-wing NGOs, by denying organizations supporting a boycott of settlement products their status as a public institution. In a phone conversation, Hagai Elad, the CEO of ACRI, noted that an association who is not tax-exempt, cannot give its donors their usual tax deduction, which is an attack on it from two sides.

Article 4 further dictates that companies who supports a boycott on settlements – such as the Israeli companies who participate in the building of Rawabi, who are contractually obligated to refrain from buying settlement products – will not be eligible for government benefits or securities, to which other companies are eligible.

Elad estimates that the chances of the bills passing, in the current Knesset – which he claims is the “worst for democracy in the history of Israel”, apparently being unduly optimistic about the next one – to be quite high. In an ACRI press release, Elad said ““Why should Israeli citizens be allowed to boycott Israeli cottage cheese, as we have heard and seen in recent weeks, but be barred from boycotting the occupation? This bill is politically motivated and unfortunately it is not the only bill promoted in Knesset these days that stands in contrast to democratic values. A boycott by consumers is a legitimate tool of protest and falls within the protection of freedom of expression. It is ironic that this bill will further enhance the criticism voiced against Israel”. A representative of Coalition of Women for Peace, who was present in the committee debate, quoted Rotem as saying “international law is non of my interest.”

The boycott bill is also supported by several MKs from the so-called center party, Kadima. It is in effect the outlawing of an entire political camp, which considers the settlements to be a disaster for Israel. You won’t be able to say so when it passes – some settler NGO will take you to court, arguing this promotes a boycott and that you somehow hurt the business of some resident of Ma’aleh Dlilah. After all, it won’t have to prove any damage was sustained. Now it all depends on what remains of the opposition party – and it’s a good bet that Tzippi “Who? Me?” Livni won’t show up.

Update: The Prime Minister’s Office confirms government officials promoted the “gay on the flotilla” hoax, and refuses to deny its officials were involved in its production (Hebrew). Apparently Eli Yishai, the Minister of the Interior, did not get the memo that Israel is gay-friendly now; he denied citizenship to the gay consort of a Jewish immigrant, even though the Law of Return grants it. (Hebrew). Oops.

http://972mag.com/boycott-bill-will-persecute-the-left/

Freedom Flotilla II participants



Below is an approximate list of the Freedom Flotilla II - Stay Human participants
Spain - Gernicka, 30 passengers
France - Louise Michel, 24 passengers, 6 journalists
France - Dignity, 10 passengers, 1 journalist
Australia/Belgium/Canada/Denmark/Germany - Tahrir, 48 passengers, 9 journalists
Italy/Netherlands/Germany/Switzerland/Malaysia - Stefano Chiarim, 65 passengers, 5 journalists
Ireland - Saoirse, 20 passengers, 2 journalists
European Campaign to End the Siege on Gaza - Freedom for All, 15 passengers
Greece/Sweden/Norway - Juliano, 25 passengers, 4 journalists
Greece/Sweden/Norway - Methimus #2 cargo boat, 15 passengers
United States - The Audacity of Hope, 40 passengers, 10 journalists
http://www.freegaza.org/en/home/56-news/1311-list-of-participating-boats-in-freedom-flotilla-ii

Saturday, June 25, 2011

Zionisme Kristen: Peta Jalan Menuju Armageddon?

christian-zionism

ABSTRAK 

Zionisme menemukan kekuatan dari perbedaan monoteistis dalam jaringan organisasi Kristen yang subur dan berkuasa, terutama di Amerika Serikat. Zionis Kristen memandang Israel sebagai bagian ketentuan suci yang ditakdirkan Tuhan, yang berpuncak pada kedatangan Kristus untuk kedua kalinya. Jumlah mereka mencapai puluhan juta dan telah berusaha mempengaruhi berbagai generasi politis Amerika. Namun demikian, cara pandang mereka bersandar pada kesalahan interpretasi fundamental terhadap kitab suci, yang justru bertentangan dengan pesan sejati ajaran Kristen.

 

 

Zionisme Kristen: Peta Jalan Menuju Armageddon?

Stephen Sizer

MENGAPA hari ini tercipta hubungan yang sedemikian dekat antara Amerika dan Israel? Mengapa sangat sulit menemukan anggota kongres AS yang bersedia mengkritik Israel di muka umum? Walaupun sebenarnya Israel harus lebih tunduk pada sejumlah resolusi Dewan Keamanan PBB dibandingkan dengan negara lain di dunia ini, mengapa Amerika Serikat selalu memveto nyaris setiap pasalnya?
Mengapa setelah hampir 40 tahun, Israel masih saja menduduki Teritori Palestina dan Dataran Tinggi Golan, sedangkan Suriah telah dipaksa mundur dari Libanon? Mengapa Israel diizinkan untuk mempertahankan senjata biologis, kimia, dan nuklir, sedangkan Iran diancam dengan serangan pendahuluan karena berupaya mengembangkan teknologi nuklir?
Mengapa Kesepakatan Damai Oslo dan Wye gagal mewujudkan perdamaian? Alih-alih memperoleh kesepakatan dari Rusia, Masyarakat Eropa, Amerika Serikat, dan PBB, mengapa belum ada itikad politik untuk menerapkan Peta Jalan Damai (Road Map) dan menciptakan negara Palestina yang merdeka di dekatnya?
Alih-alih ketentuan Mahkamah Internasional, mengapa Israel masih bisa melanjutkan pembangunan Tembok Pemisah tanpa memperoleh sanksi, dan membangun ghetto untuk warga Palestina? Mengapa Amerika dan Inggris begitu dibenci mayoritas dunia Arab dan menjadi sasaran aksi kekerasan umat Islam? Jawaban untuk semua pertanyaan itu kebanyakan tetap misterius tanpa mempertimbangkan peran gerakan yang mungkin saat ini paling berpangaruh dan paling kontroversial dalam kekristenan, yakni Zionisme Kristen .

 

Pengertian Zionisme Kristen

Dalam definisi yang paling sederhana, Zionisme Kristen adalah kelompok Kristen yang mendukung Zionisme. Artinya, kelompok ini merupakan sebuah sistem politik yang membenarkan sebentuk kolonialisme apartheid berdasarkan Injil, dengan mengutamakan hak kaum Yahudi di atas hak bangsa Palestina, juga mengklaim hak eksklusif atas sebuah wilayah yang sampai kini belum jelas di Timur Tengah. Dalam hal ini, pada dasarnya Zionis Kristen mendukung Negara Israel.
Grace Halsell, misalnya, bertanya, “Apa makna Zionis Kristen? Katakan saja begini: setiap tindakan Israel adalah sesuai dengan kehendak Tuhan, dan karenanya harus dimaafkan, didukung, dan bahkan dipuji oleh kita semua.”1
Dale Crowley, seorang penyiar Washington yang berlatar belakang religius, menggambarkan kelompok ini sebagai ‘sekte yang paling cepat berkembang di Amerika’:
Anggota utama kelompok ini bukanlah “orang-orang gila,” melainkan warga Amerika kelas menengah hingga menengah ke atas. Mereka memberikan jutaan dollar setiap minggunya kepada pengabar-pengabar di TV yang memaparkan prinsip-prinsip dasar sekte ini. Mereka membaca karya Hal Lindsey dan Tim LaHaye. Mereka punya satu tujuan: menjadi  tangan Tuhan untuk mengangkat mereka ke surga, terbebas dari semua masalah, dan dari sana mereka akan menyaksikan Armageddon—perang akhir zaman, dan kehancuran planet bumi.2

 

Makna Gerakan Zionisme Kristen

Sebagai gerakan, Zionisme Kristen sangat berbeda. Setidaknya, ada tiga elemen pembeda yang bisa diamati: evangelistis, apokaliptis, dan politis.3
Zionisme Kristen menyebar terutama melalui denominasi evangelistis, karismatik, dan independen, termasuk Sidang Jemaat Allah, Pantekosta, dan Baptis Selatan, maupun kebanyakan jemaat mega (mega church) yang independen. Crowley mengklaim bahwa kelompok ini dibimbing oleh 80.000 pastor fundamentalis. Pandangan para pastor itu disebarkan oleh 1.000 radio Kristen maupun 100 stasiun TV Kristen.4
Diperkirakan, secara keseluruhan gerakan ini memiliki pendukung sebanyak 25 juta hingga 100 juta.5 Di bulan Maret 2002, dalam sebuah survey besar terhadap pendapat umat Kristen, Pusat Riset Pew menemukan bahwa 44% umat Protestan Amerika dan 72% Evangelis Kulit Putih bisa dikaitkan dengan gerakan Zionis Kristen.6
Mungkin Unity Coalition for Israel adalah jaringan Zionis Kristen yang paling berperan dalam menyatukan 200 organisasi Yahudi dan Zionis Kristen yang berbeda-beda, termasuk International Christian Embassy, Christian Friends of Israel dan Bridges for Peace. Mereka mengklaim memiliki dukungan dari 40 juta anggota aktif.7 Organisasi-organisasi ini, dengan cakupan yang berbeda-beda, dan dengan alasan yang bermacam-macam, dengan kontradiksi yang ada, membentuk sebuah koalisi besar yang mewarnai agenda Zionis Kristen hari ini.
Walaupun akar Zionisme Kristen sebagai sebuah gerakan bisa ditelusuri hingga awal abad ke-19, dan yang kemudian dikenal sebagai Dispensasionalisme—pemikiran bahwa Tuhan telah memilih dua kaum: Gereja dan Israel—gerakan ini baru mengemuka sejak tahun 1967, ketika perang antara bangsa Arab-Israel dianggap sebagai wujud nyata dari ramalan Injil.
Tanpa dukungan finansial dan politis Zionis Kristen di Amerika, yang telah memastikan tersedianya anggaran dana pemerintah dalam jumlah besar, sangat diragukan bahwa Negara Israel masih bisa bertahan sejak 1948, apalagi terus menerus menduduki dan menjajah Teritori Palestina sejak 1967.

 

Agenda Politis Zionisme Kristen

Zionis Kristen memperlihatkan tingkat antusiasme yang berbeda-beda untuk menerapkan enam keyakinan dasar yang berasal dari pemahaman literal mereka terhadap Injil.

1. Orang-orang Terpilih: Mendukung Kolonialisme Israeli

Keyakinan bahwa Tuhan menjadikan Yahudi sebagai ‘kaum terpilih’ yang dalam beberapa hal terpisah dari Gereja sepenuhnya berakar kuat dalam Zionisme Kristen. Hal itu diungkapkan dengan bermacam cara. Di bulan Oktober 2000, misalnya, hanya beberapa hari setelah kunjungan provokatif Sharon ke Haram Al-Sharif, sebuah iklan muncul di New York Times berjudul ‘Surat Terbuka kepada umat Kristen Evangelis dari umat Yahudi demi Yesus.’ Di dalamnya mereka menghimbau kalangan evangelis untuk menunjukkan solidaritas dengan Negara Israel di saat yang kritis ini:
‘Kini saatnya berpihak pada Israel. Saudara Saudari dalam Kristus, berat hati kita menyaksikan terjadinya kekerasan dan pertumpahan darah di Timur Tengah….Sahabat-sahabat Kristen “Tuhan tak menyesali karunia dan panggilan-Nya” (Roma 11:29). Karena itu, dukungan kita bagi bertahannya Israel di saat-saat gelap ini tak perlu dibantah lagi. Kini saatnya umat Kristen berpihak kepada Israel.’8

Hingga 1980an, kebijakan AS terhadap Timur Tengah secara umum tak sebanding dengan kebijakan tentang ancaman global yang lebih luas, yang berasal dari pengaruh Soviet. Perlindungan terhadap Eropa Barat melalui NATO adalah prioritas. Namun demikian, tumbangnya Komunisme menciptakan kekosongan kekuasaan di Timur Tengah, yang kemudian diisi oleh AS. Setelah Perang Teluk untuk menyingkirkan pasukan Irak dari Kuwait, selanjutnya Taliban dari Afghanistan, dan Saddam Hussein dari Irak, jelas bahwa AS telah memperkuat pengaruhnya di Timur Tengah. Di saat yang sama, terjadi peningkatan dalam gelombang lobi pro-Israel. Konsekuensinya, Timur Tengah, khususnya Israel, telah menjadi pusat kebijakan luar negeri AS. Sama sekali bukan karena serangan al-Qaeda ke New York dan Washington.
Di 1980, Kedutaan Kristen Internasional didirikan di Yerusalem dengan tujuan mengkoordinir secara langsung berbagai aktivitas lobi politik yang bekerja sama dengan pemerintah Israel. Salah satu tujuan utamanya adalah menyaksikan keluarnya delegasi Palestina dari negara-negara Barat dan pemindahan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Di acara Doa Buka Puasa Nasional bulan Februari 1991, Ed McAteer, Presiden Religious Roundtable,meluncurkan Christian Israel Public Affairs Committee (CIPAC), mencontoh American Israel Political Affairs Committee (AIPAC) yang berkuasa, yang telah melakukan lobi-lobi atas nama hak bangsa Israel.9 Tujuan-tujuan CIPAC sama persis dengan AIPAC. Salah satu tujuan pertama CIPAC adalah melobi Kongres agar memastikan tersedianya jaminan hutang AS sebanyak 10 miliar dollar untuk mendanai penataan ulang pemukiman bangsa Yahudi dari bekas Uni Soviet di Israel dan di Tepi Barat.
Pemerintahan Bush menghubungkan jaminan utang tersebut dengan berhentinya pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat. Jan Willem van der Hoeven dari ICEJ berkata pada Jerusalem Post, bahwa “Komunitas Kristen menganggap kebijakan pemerintah tentang jaminan utang itu sama sekali tak bisa diterima.” Dia mengklaim bahwa 80% umat Kristen Evangelis Amerika mendukung jaminan utang tersebut.10 Mungkin inilah sebabnya di kemudian hari, George Bush Senior mengeluh bahwa “ada 1.000 pelobi di Hill saat ini yang tengah melobi Kongres agar memberikan jaminan utang kepada Israel, dan aku hanyalah lelaki kecil yang sendirian meminta Kongres untuk menunda pertimbangan pinzaman itu selama 120 hari.”11
Zionis Kristen juga begitu dermawan menyediakan dukungan finansial kepada Israel. Zeev Chafets, dalam tulisannya di New York Times tahun 2005, memaparkan dengan sedikit sinis, betapa kelompok Kristen evangelis telah membiayai pekerjaan Rabbi Yechiel Eckstein di Israel:
Dalam delapan tahun terakhir saja, diperkirakan 400.000 donatur baru telah mengirimi Eckstein sekitar seperempat miliar dollar untuk kepentingan Yahudi—terserah dia mau digunakan dengan cara apa. Tak ada orang Yahudi sejak zaman Yesus yang pernah memerintahkan kemuliaan semacam ini.12

Zionis Kristen juga sudah begitu berpengaruh dalam meneguhkan hubungan yang lebih dekat dengan Israel dengan memfasilitasi berbagai ziarah solidaritas dan kunjungan pendidikan ke Tanah Suci.

 

2. Restorasionisme: Memfasilitasi Aliyah dari Bekas Uni Soviet

Dengan runtuhnya Komunisme di Bekas Uni soviet (Former Soviet Union—FSU) dan Eropa Timur, sejak 1980, sebuah koalisi agen-agen Zionis Kristen telah mengambil inisiatif mendorong orang-orang Yahudi berimigrasi ke Israel, dan menganggapnya sebagai bukti kebenaran ramalan.
Mungkin Exobus adalah agen Zionis Kristen pertama yang mengubah doktrin Restorasionisme menjadi kenyataan dan membantu kaum Yahudi di FSU membentuk aliyah. Exobus didirikan tahun 1984 oleh Phil Hunter, direktur Good News Travels Bus Company, bermarkas di Hull, Inggris. Tujuan agensi ini adalah memfasilitasi perpindahan kaum Yahudi di FSU ke Israel.
Tim Exobus pertama dikirim ke Ukraina tahun 1991, dan mengklaim bahwa sejak saat itu organisasi ini telah membantu 80.000 orang Yahudi berimigrasi ke Israel dengan kerja sama yang kuat dengan agen Yahudi. Mungkin saat ini Exobus adalah agen Kristen terbesar yang memfasilitasi aliyah, terdiri dari 80 anggota tim dari 13 negara dan mengoperasikan 40 kendaraan. Exobus mengangkut sekira 1.200 Yahudi dari 16 lokasi di FSU setiap bulannya.13 Dukungan keuangan utama Exobus berasal dari sebuah agen mitra bernama Christians for Israel International, yang mengembangkan Exobus di AS.
Sejak 1991, ICEJ juga telah membiayai pengangkutan 40.000 imigran, 15.000 di antaranya dibawa ke Israel dengan 51 penerbangan yang disponsori ICEJ. Anggota tim ICEJ Rusia secara khusus aktif di wilayah yang lebih terpencil di FSU. Seperti Exobus, ICEJ dan Bridges for Peace menggambarkan tugas mereka dengan istilah ‘mengail ikan’ untuk umat Yahudi, berdasarkan Jeremiah 16:16. Mereka menemukan kaum Yahudi, membujuk mereka untuk pindah, membantu mereka memperoleh dokumen yang membuktikan asal-usul keyahudian mereka, membagikan paket kemanusiaan dan membayar izin keluar, paspor, pelunasan utang, transportasi dan akomodasi selama pengajuan mereka diproses oleh Agen Yahudi di kota-kota Rusia yang lebih besar. Begitu tiba di Israel , ICEJ maupun BFP membantu imigran dengan biaya pemukiman, menyediakan makanan, pakaian, selimut, persediaan dapur dan sekolah, maupun perlengkapan kesehatan.

 

3. Eretz Israel: Mendukung Pemukiman Tepi Barat

Bagi Zionisme, Yahudi, dan Kristen religius, batas absah bagi Israel jauh lebih luas daripada dengan yang kini diperdebatkan dengan Suriah, Yordania, dan Otoritas Palestina. Keyakinan bahwa seluruh Tepi Barat merupakan bagian integral dengan Israel telah membuat banyak Zionis Kristen ‘mengadopsi’ pemukiman khusus Yahudi untuk memperkuat klaim mereka atas wilayah tersebut.
Christian Friends of Israeli Communities (CFOIC), yang didirikan oleh Ted Beckett tahun 1995, menjalin kerja kemitraan dengan Christian Friends of Israel (CFI) dan mendefinisikan pemukiman sebagai:
Sebidang tanah untuk tempat tinggal pionir kaum Yahudi yang pemberani. Sebagian besar didirikan di puncak bukit berbatu kosong, dibangun untuk membentuk komunitas Yahudi yang belum pernah ada selama ribuan tahun. Sebagian lagi, seperti Shiloh, pemukiman dibangun di sebuah situs asli kota Yahudi kuno.14

Sejauh ini, ‘progress meter’ CFOIC menunjukkan bahwa 39 pemukiman ilegal penduduk Israel telah ‘diadopsi’ oleh 50 denominasi maupun gereja independen di AS, Afrika Selatan, Jerman, Belanda, dan Pilipina.
Selain memfasilitasi imigrasi Yahudi ke Israel, sejumlah agen Zionis Kristen juga aktif mendanai pemukiman Yahudi ilegal di Tepi Barat. Program ‘Bis Anti Peluru untuk Efrat,’ misalnya, juga mengeluarkan 150.000 dollar untuk membeli sebuah bis lapis baja anti peluru untuk mengangkut warga pemukiman keluar dan masuk Tepi Barat dari pemukiman Efrat.15 Bridges for Peace (BFP) punya skema serupa bernama ‘Operation Ezra‘ yang mendanai lebih dari 50 proyek yang sedianya terancam gagal seperti ladang pemukiman, Sde Bar, dekat Beit Jala dan Herodian.16
Anglicans for Israel mewakili wajah baru Kristen Zionis di Inggris.17 Website mereka memuat banyak artikel yang menyangkal pendudukan di Palestina, menjustifikasi Tembok Pemisah dan pembangunan pemukiman,
Selama  bangsa Palestina masih berpegang pada pemahaman keliru bahwa mereka “diduduki,” dan Israel berperan sebagai “penindas,” mereka tak akan bisa bertanggung jawab pada diri sendiri.18
Saat mengunjungi Israel belum lama ini, aku melihat pagar pengaman dalam banyak peristiwa, dan pagar itu sangat panjang. Kecuali di sejumlah kecil lokasi—dan hanya untuk melindungi pengendara motor dari penembak jitu—bukan tembok.19

Efek lobi pro-Israel terhadap kebijakan luar negeri Amerika tentang pemukiman nampaknya memang membuahkan hasil. Selama pemerintahan Carter, pemukiman dianggap ‘ilegal’; di bawah pemerintahan Reagan dipandang sebagai ‘penghalang’ perdamaian’; saat pemerintahan Clinton menjadi ‘faktor yang rumit’; sedangkan di masa George W. Bush, pemukiman adalah bagian dari Israel.

 

4. Jerusalem: Melobi untuk Pengakuan Internasional

Inti dari dukungan Zionis Kristen terhadap klaim Israel atas Wilayah Pendudukan adalah keyakinan bahwa Jerusalem adalah, dan harus tetap menjadi, pusat Yahudi yang eksklusif dan tidak terbagi-bagi. Sejauh ini, berbagai upaya untuk mencapai kesepakatan dalam konflik Arab-Israel yang kian luas ini tertahan atau terbentur pada status akhir Jerusalem.  Zionis Kristen dengan tegas menolak setiap pengajuan apapun tentang kedaulatan bersama atau pembentukan pusat pemerintahan Palestina di Jerusalem Timur.
Senator Bob Dole kemudian mengumumkan sebuah perundangan di Senat Amerika yang memerintahkan kedutaan besar AS membangun kembali Yerusalem sebelum 31 Mei 1999, dan mengesahkan 100 juta dollar untuk membiayai pengeluaran ‘awal.’20 Di bulan Oktober 1995 dia menyatakan, “Pusat Israel bukan ditentukan di meja proses perundingan damai, dan memindahkan kedutaan besar AS ke Yerusalem tidak berpengaruh sedikitpun untuk memprediksi hasil negosiasi apapun di masa mendatang.”21 Sambil menyesalkan kegagalan Presiden  AS untuk meratifikasi keputusan Senat tersebut, Dole berkomentar:
Yerusalem hari ini, dan sudah sejak tiga ribu tahun yang lalu, menjadi jantung dan jiwa kaum Yahudi. Kota ini juga harus tetap, selamanya, menjadi pusat Negara Israel yang abadi dan tak terbagi-bagi…Saatnya telah tiba…untuk melangkah lebih dari sekadar kata-kata, ungkapan dukungan, dan bermacam resolusi Kongres. Saatnya telah tiba untuk menjalankan perundangan yang bisa menuntaskan pekerjaan.22

Di tahun 1992, ICEJ mensponsori berbagai perayaan untuk menandai ulang tahun ke-25 peristiwa yang mereka sebut sebagai ‘Reunifikasi Yerusalem.’23 Di tahun  1996, dalam Kongres Zionis Kristen Internasional, pemikiran ini dikemukakan kembali di hadapan 1.500 peserta yang menandatangani sebuah pernyataan sikap:
Karena tujuan mutlak Tuhan bagi Kota ini, maka Yerusalem harus tetap tidak terbagi-bagi, di bawah kedaulatan Israel, terbuka bagi semua orang, pusat negara Israel saja, dan karenanya semua bangsa harus sepakat dan menempatkan kedutaan mereka di sini…kebenaran Tuhan adalah mutlak dan tertulis bahwa Tanah yang dijanjikanNya untuk kaum-Nya itu bukan untuk disekat-sekat.24

ICEJ juga telah memberikan dukungan berupa satu halaman penuh di New York Times untuk iklan yang berjudul ‘Umat Kristen menyeru untuk Yerusalem yang Utuh.’
Kami, yang bertanda tangan di bawah ini adalah para pimpinan spiritual Kristen yang setiap minggu melayani lebih dari 100 juta umat Kristen Amerika, begitu bangga bisa bergabung bersama-sama mendukung keberlangsungan kedaulatan Negara Israel atas kota suci Yerusalem. Kami mendukung upaya-upaya Israel untuk mencapai rekonsiliasi dengan tetangga Arab, namun kami percaya bahwa Yerusalem, atau bagian manapun darinya, seharusnya tidak lagi ditawar-tawar dalam proses perdamaian. Yerusalem harus tetap utuh sebagai pusat abadi kaum Yahudi.25

Para pembaca juga diseru:
Bergabunglah bersama kami dalam misi suci untuk memastikan bahwa Yerusalem akan tetap menjadi pusat Israel yang utuh dan abadi.’ Mereka mengklaim, ‘perang demi Yerusalem telah dimulai, dan kinilah saatnya umat yang beriman kepada Kristus untuk mendukung saudara mereka bangsa Yahudi dan Negara Israel. Saat persatuan dengan kaum Yahudi kini telah tiba.’26

Namun demikian, yang dirasa lebih penting bagi Zionis Kristen berkaitan dengang ramalan yang mereka yakini adalah membangun kembali Kuil Yahudi.

 

5. Kuil: Memihak pada Zionisme Religius

Zionis Kristen masa kini begitu aktif membantu banyak organisasi Yahudi yang bertujuan membangun kembali Kuil Yahudi dengan memproklamirkan berbagai organisasi Temple Mount; mencari lokasi situs Kuil; memfasilitasi program pembangunan ulang; mengembangbiakkan lembu merah dan mendanai Lembaga Keuangannya.
Randall Price adalah ahli aliran dispensational terkemuka dalam rencana pembangunan ulang Kuil Yahudi dalam waktu dekat. Di halaman 735 bukunya, The Coming Last Days Temple, dia menyajikan rincian lengkap  dan alamat semua organisasi Yahudi yang turut memfasilitasi pembangunan ulang Kuil Yahudi.27 Gershon Salomon adalah tokoh kontroversial dalam gerakan ini dan pendiri The Temple Faithful. Ketika berbicara sebagai tamu ICEJ, dalam Kongres Zionis Kristen tahun 1998, Salomon bersikukuh bahwa:
Misi generasi masa kini adalah membebaskan Temple Mount dan menyingkirkan—saya ulangi, menyingkirkan—kebencian yang menodai tempat itu…kaum Yahudi tak akan diberhentikan di gerbang-gerbang menuju Temple Mount… Akan kita kibarkan bendera Israel kita di Temple Mount, yang bakal berdiri tanpa Kubah Batu dan masjidnya, dan yang akan ada di sana hanyalah bendera kita dan Kuil kita. Itulah yang harus dilaksanakan oleh generasi kita.28

Namun demikian, Sam Kiley menulis di The Times untuk memberikan perspektif lain. Dia mengklaim Salomon sebagai “wajah paling tepat untuk berbagai sekte di milenium ini.” Dalam sebuah wawancara dengan Salomon bersikeras bahwa tempat ibadah umat Islam harus dihancurkan:
Pemerintah Israel harus melakukannya. Kita harus berperang. Akan banyak bangsa yang menentang kita, Tapi Tuhan akan memimpin kita. Aku yakin ini adalah ujian, dan Tuhan mengharapkan kita menyingkirkan Kubah itu tanpa rasa takut kepada bangsa-bangsa lain. Al-Masih tak akan datang dengan sendirinya; kita harus menghadirkanya dengan berjuang.’29

Sejak 1967 sudah terjadi lebih dari 100 serangan bersenjata terhadap al-Haram al-Sharif oleh kaum Yahudi militan, seringkali dipimpin para rabbi. Tak sekalipun Perdana Menteri Israel atau kepala rabbi Sephardic pernah mengecam serangan-serangan itu.30 Seperti yang pernah dikemukakan Lawrence Wright, “kerinduan Yahudi akan Kuil, harapan Kristen akan Kegembiraan, dan paranoia Muslim terhadap perusakan masjid mereka tengah diaduk dalam sebuah mangkuk apokaliptik.”31

 

6. Masa Depan: Menentang Perdamaian dan Menyegerakan Armageddon

Permusuhan yang diperlihatkan Zionis Kristen terhadap kompromi apapun tentang pembagian Tanah, atau Yerusalem, atau situs-situs suci, sama sekali bukan karena pesimisme yang inheren dalam eskatologi mereka.

 

Aliansi AS-Israel

Saat Zionis Kristen secara umum sepakat untuk berpihak pada Israel, secara khusus ada hubungan dekat antara Israel dan Amerika. Jerry Falwell menjelaskannya secara sederhana. Tuhan begitu baik kepada Amerika karena ‘Amerika baik kepada Yahudi.’32 Mike Evans adalah salah seorang yang menemukan dasar-dasar Injili tentang hubungan antara Israel dan Amerika:
Tuhan hendak memberkati Amerika maupun Israel…Jika Israel runtuh, maka Amerika Serikat tak akan mampu lagi menjaga demokrasinya…Uang Arab digunakan untuk mengendalikan dan mempengaruhi banyak Perusahaan besar di AS, sehingga membuat Amerika Serikat kian dan kian sulit menentang terorisme dunia.33

Bagi Zionis Kristen seperti Jerry Falwell dan Mike Evans, ‘Sabuk Injil’ Amerika dipandang sebagai ‘Sabuk Pengaman’ Israel.34 Amerika dianggap sebagai penyelamat besar mereka, perannya sebagai negara adidaya di dunia sudah diramalkan dalam kitab suci35 dan memang sudah ditakdirkan Tuhan.36 Para kritikus memperingatkan bahaya logika semacam ini karena cara pandangnya yang dualistik dan Manichaean terhadap politik global. Amerika dan Israel bersama-sama melawan dunia yang keji.’37

 

Antipati terhadap Bangsa Arab

Zionis Kristen adalah pecinta Israel, dan mereka jarang memperlihatkan perasaan yang sama terhadap bangsa Arab. Bahkan, antipati mereka seringkali sangat berlawanan dengan empati mereka terhadap Israel. Stereotipe prasangka anti-Arab dan Orientalis lazim dijumpai dalam tulisan-tulisan mereka.38 Menurut Orientalis, Barat dipandang sebagai kalangan yang liberal, damai, rasional, dan mampu menerima nilai-nilai yang ‘hakiki’ sedangkan Timur Tengah tidak.
Ramon Bennett menjelaskan betapa prasangka semacam itu tetap lazim hingga hari ini dengan menggambarkan bangsa Arab modern sebagai bangsa ‘barbar’39 Dia mengklaim bahwa ‘kebiasaan mereka dalam hal keramahtamahan dan kedermawanan hanya sedikit berubah dalam 4.000 tahun ini, begitupun kebiasaan menyerang orang lain (mencuri, bersikap kasar), mengagungkan harga diri, dan kebuasan mereka.40 Mengutip John Laffin, Bennett berpendapat bahwa bangsa Arab bukan kejam atau pembohong yang penuh perhitungan; mereka adalah orang-orang yang natural.41 Ketika anti-Semitisme dianggap tabu di Amerika, nampaknya saat ini sedang ‘musim berburu’ untuk prasangka anti-Arab.

 

Ethnic Cleansing di Palestina

Dick Armey, mantan pimpinan Senat Republik, melansir kabar mengejutkan dengan membenarkan ethnic cleansing terhadap bangsa Palestina dari Wilayah Pendudukan. Dalam sebuah wawancara dengan Chris Matthews di CNBC 1Mei 2002, Armey menyatakan bahwa:
Kebanyakan penduduk yang kini menghuni Israel sebelumnya diangkut dari seluruh penjuru dunia ke tanah yang kini menjadi kampung halaman mereka. Bangsa Palestina juga bisa melakukan hal yang sama, dan kami sepenuhnya akan senang membantu Palestina untuk melakukannya. Kami tak hendak mengorbankan Israel demi pendapat tentang tanah air bangsa Palestina…Aku yakin bahwa Israel harus menguasai seluruh Tepi Barat…Begitu banyak bangsa Arab yang punya tanah ratusan ribu hektar tanah, lahan, dan harta benda, juga peluang untuk mendirikan sebuah negara bagi bangsa Palestina.’42

Matthews memberi Armey beberapa kali kesempatan untuk mengklarifikasi pernyataannya bahwa dia tak sedang menganjurkan ethnic cleansing terhadap seluruh bangsa Palestina dari Tepi Barat, namun Armey tak bergeming. Ketika ditanya, “Pernahkan Anda memberitahu George Bush, Presiden dari negara bagian Anda, Texas, tentang pendapat Anda bahwa seluruh bangsa Palestina harus bangkit dan pergi meninggalkan Palestina; dan itulah solusinya?”
Armey menyahut, “Mungkin sekarang ini sedang kuberitahukan padanya …Aku yakin bahwa Israel harus memperoleh tanah yang kini dikuasainya dan orang-orang yang menyerang melawan Israel harus pindah ke wilayah lain.”43
Pendapat Armey bahwa bangsa Palestina harus ‘pergi’ hanyalah bagian terakhir dari serangkaian seruan yang jadi isu utama media AS dan Inggris tentang ethnic cleansing terhadap bangsa Palestina dari Wilayah Pendudukan.44

 

Menentang Proses Damai

Zionis Kristen selalu membenarkan klaim sepihak Israel atas Wilayah Pendudukan, sedangkan di saat yang sama mereka menentang aspirasi bangsa Palestina untuk menentukan nasib mereka sendiri, karena secara hakiki keduanya memang berlawanan. Banyak yang memandang perjanjian damai sebagai pengkhianatan pada kehendak Tuhan bagi kaum Yahudi. “Perdamaian…adalah kesalahan dan ada orang-orang yang percaya bahwa akarnya adalah dari kejahatan.”45 Clarence Wagner dari BFP juga sepakat dengan pendapat tersebut. Dia juga tidak sepakat dengan dengan perjanjian damai:
Kita perlu mendorong bangsa-bangsa lain untuk memahami rencana Tuhan, bukan rencana-rencana PBB, AS, MEE, Oslo , Wye, dsb. yang berasal dari pemikiran manusia. Tuhan sama sekali tak menetapkan rencana untuk merebut Kota Tua Yerusalem, termasuk wilayah Mount Temple dan Gunung Zaitun (Mount of Olives), kemudian memberikannya ke dunia Islam. Al-Masih tak akan kembali ke kota umat Islam bernama Al-Quds, tapi untuk mengumpulkan kembali, membangkitkan kembali kota Yahudi, Yerusalem.46

Karena itu, bahasan tentang perdamaian bukan hanya dianggap buang-buang waktu, tetapi juga sangat memperlihatkan kurangnya keimanan, dan yang paling buruk, merupakan pemberontakan terhadap kehendak Tuhan. Pernyataan semacam itu berasal dari pimpinan tingkat tinggi umat Kristen, yang jadi tak jauh beda dengan pandangan ekstrimis Muslim yang menyeru ‘perang suci’ melawan Barat. Bahaya teologi semacam itu nampaknya tak separah hingga menyebabkan kematian, namun seperti kisah ‘chicken little,’ begitu menular.47 Karen Armstrong tak sendirian dalam menelusuri bukti keabsahan Perang Salib dalam Zionisme Kristen Barat. Berdasarkan pengamatannya, kelompok fundamentalis seperti itu kini ‘kembali ke konsep perang suci zaman kuno dan ekstrim.’48

 

Penilaian Kritis terhadap Zionisme Kristen

Sebagaimana telah dibahas, Zionisme Kristen sebagai sebuah gerakan telah menyebabkan banyak konsekuensi politis yang dalam dan jangka panjang. Zionis Kristen telah menunjukkan berbagai tingkat antusiasme untuk menerapkan enam keyakinan teologis fundamental yang muncul dari hasil pemahaman mereka yang literal dan futuris terhadap Injil:
1.      Keyakinan bahwa Yahudi tetaplah kaum yang dipilih Tuhan membuat Zionis Kristen menjustifikasi pendudukan militer Israel atas Palestina.
2.      Sebagai kaum pilihan Tuhan, kembalinya seluruh bangsa Yahudi ke Israel secara aktif dianjurkan dan difasilitasi melalui kemitraan antara organisasi-organisasi Kristen dan agen Yahudi.
3.      Eretz Israel, dari Mesir hingga Irak, adalah milik bangsa Yahudi sepenuhnya; karenanya, tanah tersebut harus diambil alih dan pemukimannya dijaga sekaligus diperkuat.
4.      Yerusalem dianggap sebagai pusat abadi dan eksklusif bagi kaum Yahudi, dan tak bisa dibagi-bagi dengan bangsa Palestina. Karena itu, secara strategis pemerintah negara-negara Barat di bawah tekanan Zionis Kristen harus memindahkan kedutaan mereka ke Yerusalem, yang berarti mengakui kebenarannya.
5.      Kuil Ketiga tetap harus dibangun, kerahibannya disucikan, pengorbanan dihidupkan kembali. Sebagaimana yang diyakini oleh Zionis Kristen, khususnya dispensational, bahwa hal ini telah diramalkan, mereka memberikan berbagai macam tingkat dukungan kepada sejumlah organisasi Jewish Temple Mount yang bertekad mewujudkannya.
6.      Karena Zionis Kristen yakin bahwa akan terjadi perang apokaliptis antara kebaikan dan keburukan dalam waktu dekat, maka perdamaian jangka panjang antara bangsa Arab dan Yahudi tak lagi bisa diharapkan. Sesungguhnya, menyarankan Israel untuk berkompromi dengan Islam atau hidup berdampingan dengan bangsa Palestina berarti menyamakan diri dengan orang-orang yang ditakdirkan untuk melawan Tuhan dan Israel dalam perang Armageddon yang sudah dekat.

Jelas bahwa tidak semua Zionis Kristen meyakini keenam butir doktrin di atas, atau berkeyakinan dan melibatkan diri dengan derajat yang sama. Namun demikian. Sebagaimana telah dibahas, secara umum, konsekuensi dukungan tanpa pertimbangan kritis terhadap Negara Israel, khususnya dari kalangan Evangelis Amerika, pada hakikatnya sangat merusak, bahkan bagi kaum Yahudi yang mereka klaim sebagai orang-orang terkasih.
Umumnya, Zionisme Kristen telah ditolak oleh sejumlah denominasi utama Kristen.
Misalnya, dalam Koferensi Sabil Internasional ke-5 di Yerusalem bulan April 2004, sekitar 600 anggota dari 30 negara mengeluarkan sebuah pernyataan yang mengecam Zionisme Kristen sebagai bid’ah:
Zionisme Kristen adalah gerakan teologis dan politis modern yang menganut pandangan ideologis yang paling ekstrim tentang Zionisme, karenanya jadi sangat merugikan bagi perdamaian yang adil antara Israel dan Palestina. Program-program Zionis Kristen menyajikan cara pandang bahwa Kitab Injil dinisbahkan pada ideologi kekaisaran, kolonialisme, dan militerisme. Dalam bentuk ekstrimnya, paham ini mengutamakan berbagai peristiwa apokaliptis yang mengarah pada berakhirnya sejarah, bukan menghidupkan cinta kasih Kristus dan kadilan di masa kini.
Kami juga menolak bentuk Zionisme Kristen yang lebih berbahaya, yang mewarnai kebijakan banyak gereja besar sehingga mereka tetap diam saat menyaksikan pendudukan Israel atas Palestina. Oleh karena itu, dengan tegas kami menolak doktrin-doktrin Zionis Kristen, menyatakannya sebagai ajaran palsu yang merendahkan pesan kasih, pengampunan, dan keadilan yang ada dalam Injil…
Kami menolak ajaran-ajaran bid’ah Zionisme Kristen yang memfasilitasi dan mendukung kebijakan ekstrimis ini. Alih-alih mengabarkan cinta kasih universal, pertaubatan dan persatuan yang diajarkan oleh Yesus Kristus, mereka justru tengah mengkampanyekan eksklusivitas rasial dan perang tiada akhir.49

Zionisme Kristen hanya menghidupkan keyakinan terhadap masa depan apokaliptik yang didasarkan pada pemahaman hermeneutik literal, dengan menisbahkan janji yang disebutkan dalam Perjanjian Lama bagi kaum Yahudi kuno itu pada Negara Israel saat ini. Asumsi literal mereka itu menafikan kemungkinan apapun untuk memaknai Injil dengan cara lain, untuk memaknai sejarah, atau hasil perundingan damai yang adil dan jangka panjang di Timur Tengah.
Akhirnya, Zionisme Kristen harus ditolak karena tanpa sikap kritis telah memberlakukan agenda rasis eksklusif untuk mewujudkan hak politis Israel. Selain itu, kurangnya rasa kasih mereka kepada tragedi bangsa Palestina sungguh tak bisa dimaafkan. Baik sengaja maupun tidak, kelompok ini telah melegitimasi penindasan terhadap bangsa Palestina atas nama Tuhan. Di saat yang sama, kepada kaum Yahudi, mereka memberikan masa depan apokaliptik yang jauh lebih mengerikan, bahkan lebih dari Shoah–Holocaust.[Stephen Sizer] 

Catatan Kaki:
1.      Grace Halsell, ‘Israeli Extremists and Christian Fundamentalists: The Alliance’, Washington Report , Desember 1988, h. 31.
2.      Dale Crowley, ‘Errors and Deceptions of Dispensational Teachings.’ Capital Hill Voice, (1996-1997).
3.      Lihat Stephen Sizer, Christian Zionism: Road-map to Armageddon (Leicester, IVP, 2004).
4.      Halsell, ibid., h. 50.
5.      ‘Christians Call for a United Jerusalem’ New York Times , 18 April 1997, http://www.cdn-friends-icej.ca/united.html
6.      The Pew Research Center, Americans Struggle with Religion’s Role at Home and Abroad , http://people-press.org/reports/display.php3?PageID=388 , Maret 2002.
8.      ‘Open Letter to Evangelical Christians from Jews for Jesus: Now is the Time to Stand with Israel .’ The New York Times, 23 Oktober 2000.
9.      Ibid., h.108.
10.  Jerusalem Post , 11 Oktober 1991, dikutip dalam Wagner, op.cit., h.108.
11.  Lind, op.cit.
12.  Zev Chafets, ‘The Rabbi Who Loved Evangelicals (and Vice Versa).’ New York Times, 24 Juli 2005. Rabbi Yechiel Eckstein adalah pendiri dan presiden International Fellowship of Christians and Jews. Dia juga wakil direktur nasional untuk urusan antar agama di Anti-Defamation League. http://www.ifcj.org
15.  International Christian Embassy, pengadaan ‘Bulletproof Bus for Efrat’, Word from Jerusalem, Mei 2002.
16.  Bridges for Peace, ‘New Life on the Farm’ Despatch from Jerusalem , January (2000), h. 5.
17.  www.anglicansforisrael.com
18.  Asaf Romirowsky, ‘ David & Goliath’ , http://www.anglicansforisrael.com/docs/2006/05/10/david-and-goliath
19.  Simon Mcllwaine, ‘ Our complaint to the URC ‘ http://www.anglicansforisrael.com/docs/2005/09/12/our-complaint-to-the-urc/
20.  ‘Undang-undang untuk memindahkan kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem’, http://www.usdoj.gov/olc/s770.16.htm  
21.  Middle East Realities ‘Lie of the Week’, MiddleEast@aol.com, 01/11/95.
22.  Donald Neff, ‘Kongres tidak bertanggung jawab terhadap isu Yerusalem’, Washington Report , January (1998), hh.90-91.
23.  International Christian Embassy Jerusalem (Jerusalem, ICEJ, 1993), h.24.
24.  ‘Pernyataan Kongres Zionis Kristen Internasional,’ Kedutaan Kristen Internasional, Yerusalem, 25-29 Februari 1996.
25.  ‘Christians Call for a United Jerusalem’ New York Times , 18 April 1997, http://www.cdn-friends-icej.ca/united.html
26.  Ibid.
27.  Randall Price, The Coming Last Days Temple , (Eugene, Oregon, Harvest House, 1999), hh. 616-644; Randall Price, ‘Time for a Temple? Jewish Plans to Rebuild the Temple.’ Friends of Israel Gospel Ministry http://www.foigm.org/img/timetemp.htm
28.  Nadav Shragai, ‘Dreaming of a Third Temple’, Ha’aretz , 17 September 1998, h.3, dikutip di Price, Coming , op.cit., h. 417.
29.  Sam Kiley, ‘Yang saleh akan bertahan dan yang lainnya akan lenyap’ The Times, 13 Desember 1999, h.39.
30.  Grace Halsell, ‘The Hidden Hand of the Temple Mount Faithful’ The Washington Report , January 1991, h.8.
31.  Lawrence Wright, ‘Forcing the End’, Frontline, http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/shows/apocalypse/readings/forcing.html  
32.  Dikutip dari Halsell, Forcing , op.cit., h. 100.
33.  Mike Evans , Israel , America ‘s Key to Survival , (Plainfield, New Jersey, Haven Books, 1980), halaman belakang, xv.
34.  Jeff Halper, Israel as an Extension of America’s Empire, (Israeli Committee Against House Demolitions) makalah yang tidak dipublikasikan.
35.  Noah Hutchings, U.S. in Prophecy, (Oklahoma City, Hearthstone Publishing, 2000); Arno Froese, Terror in America, Understanding the Tragedy, (West Columbia, Olive Press, 2001); Mark Hitchcock, Is America in Prophecy? (Portland, Oregon, Multnomah, 2002); Hal Lindsey, Where is America in Prophecy? video (Murrieta, California, Hal Lindsey Ministries, 2001).
36.  Michael Lienesch, Redeeming America: Piety and Politics in the New Christian Right , (Chapel Hill, North Carolina, University of North Carolina, 1993), h.197.
37.  Rosemary Reuther & Herman J. Ruether, The Wrath of Jonah, (San Francisco, Harper, 1989), h.176. Lihat juga Robert Jewett & John Shelton Lawrence, Captain America and the Crusade against Evil (Cambridge, Eerdmans, 2003).
38.  Edward Said, Orientalism , (New York, Vintage, 1978); Ramon Bennett, Philistine, The Great Deception , (Jerusalem, Arm of Salvation, 1995).
39.  Bennett, op.cit., h.23.
40.  Ibid., h.21.
41.  Ibid., h.23; John Laffin, The Arab Mind , (London, Cassell, 1975), h.70
42.  Dick Armey, ‘Hardball with Chris Matthews’, CNBC, 1 Mei 2002, dikutip dalam ‘Republican Party Leader calls for Ethnic Cleansing of Palestinians on Prime Time Talk Show’ The Electronic Intifada, http://electronicintifada.net/actionitems/020502dickarmey.html  Lihat juga ‘Rep. Dick Armey calls for Ethnic Cleansing of Palestinians’ Counterpunch disunting oleh Alexander Cockburn dan Jeffrey St. Clair, http://www.counterpunch.org/armey0502.html .
43.  Ibid.
44.  Charles Krauthammer, ‘Mideast Violence: The Only Way Out’, Washington Post, 15 Mei 2001; Emmanuel A. Winston menulis di USA Today, called for the ‘resettling the Palestinians in Jordan’ USA Today , 22 Februari 2002; John Derbyshire, ‘Why don’t I care about the Palestinians?’, National Review , 9 Mei 2002.
45.  Walter Riggans, ‘The Messianic Community and the Hand Shake’ Shalom, 1, (1995), termasuk sebuah kutipan dari Benjamin Berger, pimpinan di Kehilat HaMashiach, Jerusalem.
46.  Wagner, ‘Driving’, op.cit., h.9.
47.  Dave MacPherson, cited in Halsell, Forcing , op.cit., h.10.
48.  Karen Armstrong, Holy War, The Crusades and Their Impact on Today’s World , (London, Macmillan, 1988), h.377.

Note:
Stephen Sizer adalah Vicar Gereja Kristus, di Virginia Water. Dia juga kepala Komunitas Injil Internasional di Inggris, dan anggota dewan pengawas sejumlah organisasi termasuk Amos Trust. Selain menjadi anggota Interfaith Group for Morally Responsible Investment dan Institut Kajian Zionisme Kristen, dia juga menjabat kepala pengurus di Sekolah Kesehatan St Ann’s, di Virginia Water. Tesis doktoralnya tentang Zionisme Kristen. Ia menulis sejumlah buku dan artikel.

Artikel ini dialihbahasakan dengan izin penulis oleh Anna Farida dari “Christian Zionism: Road-map to Armageddon?” dalam Volume 1 Issue 4, http://www.palint.org/article.php?articleid=16. Hak cipta pada Palestine Internationalist.